Sekapur Sirih dari Penulis
Menjelajahi ujung barat hingga timur Pulau Jawa mulai dari Carita (Banten) hingga Banyuwangi (Jawa Timur) membawa kenikmatan dan kenangan tersendiri. Bukan apa-apa, dari situlah tercipta berbagai kenangan berharga dan sulit terlupakan. Di Carita misalnya, keeksotisan pantainya begitu menonjol sehingga mampu menyedot banyak pengunjung dari berbagai kota.
Tak jauh dari situ, tepatnya di Pantai Karangbolong menyimpan mitos tersendiri. Believe it or not, seorang penderita penyakit kulit yang berkepanjangan bisa disembuhkan berkat mandi di sumur berair laut itu. Padahal, sebelumnya ia telah berobat mulai dari yang tradisional sampai modern.
Di sela-sela rasa lelah karena sudah dua hari menjelajahi berbagai tempat penting di Serang dan sekitarnya, tiba-tiba tubuh kami merasakan segar kembali. Keceriaan dan semangat mencuat lagi. Hal serupa juga dirasakan rekan-rekan seperjalanan yang ikut tergabung dalam penjelajahan wisata ini.
Penyegaran kembali itu terasa setelah kami berendam di kolam Pemandian Air Panas Carita. Kualitas airnya memang unik; berkadar yodium tinggi namun kandungan belerangnya sangat kecil.
Selama 30 menit itulah kami berendam dan sesekali melakukan gerakan berenang. Kehangatan itu masih terasa ketika kami bersiap menyantap menu ikan bakar yang sudah dipesan sebelumnya. Keringat pun mengucur deras.
Semilirnya angin persawahan, membuat selera makan kami kian bernafsu. Menu sederhana; nasi panas, ikan bakar, sambal, kerupuk, dan lalapan yang dihidangkan secara lesehan di saung dengan kolam ikan di sekelilingnya itu cepat ludes, pindah ke perut kami.
Seluruh tubuh terasa begitu enteng. Apalagi tarif ikan bakar dan mandi air panas itu tidak seberapa dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Jadi, tak ada salahnya kalau pembaca juga mencobanya.
Lain lagi ketika kami berada di Makam Sultan Maulana Hasanudin yang berada di kawasan Masjid Agung Banten Lama. Nuansa religius lebih dominan. Ayat-ayat suci Al Quran dilantunkan peziarah di seputar makam Sultan Maulana Hasanudin (SMH).
SMH adalah raja pertama di Banten dan putra dari Sunan Gunungjati, salah satu anggota Wali Songo. Dialah yang mendirikan masjid beserta menara dengan gaya arsitektur Belanda kuno.
Tak jauh dari situ kami juga menikmati beragam koleksi benda antik di Museum Arkeologi Banten. Di situ terbayang seperti apa kehidupan masyarakat Banten tempo dulu.
Hal serupa juga kami rasakan ketika mengunjungi beberapa museum di Jakarta. Di Museum Nasional misalnya tersimpan koleksi benda-benda bersejarah seperti patung, peta, batik, perhiasan, dan lain-lain.
Sebagai ibukota negara, Jakarta juga menghadirkan wisata bernuansa monumental dan berteknologi modern seperti di kawasan Ancol dan Taman Mini Indonesia Indah.
Bergerak sedikit ke timur, tepatnya di Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, kami menapak tilas mencoba membayangkan detik-detik kemerdekaan Republik Indonesia. Menurut kami, mulai dari sinilah titik nol Bangsa Indonesia melangkah dan membangun.
Betapa tidak, sehari sebelum kita merdeka, duet proklamator Bung Karno dan Bung Hatta ‘diamankan’ puluhan pemuda ke rumah warga keturunan China Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok. Naskah Proklamasi pun disusun. Menginap semalam di situ, pagi harinya (17 Agustus 1945) rombongan kembali ke Jakarta untuk mendeklarasikan Kemerdekaan RI.
Kami merasa sangat bersyukur berada di rumah beserta beberapa parabotan sederhana seperti aslinya. Lebih-lebih kami juga diterima dengan ramah dan baik oleh cucu pemilik rumah tersebut, Kwin Moy.
Berbagai cerita ia paparkan apa adanya. Bahkan sebagian besar dari penuturannya itu belum pernah terungkap ke khalayak ramai. Semua itu kami tuliskan untuk Anda di buku ini.
Sekali lagi kami bangga dan layak bersyukur mendapatkan informasi tersebut. Kami berharap, mudah-mudahan buku ini bisa melengkapi catatan sejarah bangsa.
Melaju ke arah timur mulai dari Cirebon sampai Surabaya, kami merasa berada di dua kultur yang berbeda. Apalagi setelah kami menjelajahi ke-9 makam Wali Songo beserta masjid-masjid peninggalan mereka yang memang tersebar di sepanjang jalur pantai utara (Pantura) Jawa.
Peradaban yang bernuansa Islam dan Hindu melekat erat dengan tetap menonjolkan kearifan lokal. Di Masjid Agung Demak misalnya, arsitektur bangunannya lebih mencerminkan suasana beriklim tropis. Atapnya bersusun tiga berbentuk segitiga sama kaki. Kayu tropis mendominasi bangunan tersebut.
Sejak awal mula dibangun, mesjid tertua di Pulau Jawa itu memang tidak memiliki menara. Tujuannya, umat Muslim ingin menjalin toleransi dengan warga Hindu yang ketika itu memang mendominasi peradaban manusia.
Kami juga terkesima dengan keindahan stalagmit dan stalaktit di Gua Maharani, Lamongan. Wajar saja demikian. Menurut speleolog Dr KRT Khoo, gua tersebut adalah gua terbaik di Indonesia dan pantas disejajarkan dengan gua wisata di Spanyol (Altemira dan Mammoth) serta Prancis (Coranche).
Kami merasa beruntung, di bawah panduan Sugeng yang juga sebagai penemu gua tersebut, bisa melihat beberapa stalaktit yang masih terus tumbuh. Laju pertumbuhan itu mencapai 1 cm selama 10 tahun.